Senin, 25 Mei 2009

banner1

Aceh Dulu dan Aceh Sekarang Dengan Pergeseran Nilainya

Nanggroe Aceh Darussalam adalah daerah yang kaya dengan pesona alamnya dan terkenal dengan seni budaya yang memiliki daya tarik tersediri. Daerah berjulukan Serambi Mekkah itu telah mengalami banyak pengalaman pahit dimasa lalu, mulai dari D.I T.I.I, konflik bersenjata yang berkepanjangan yang menelan banyak nyawa dan air mata, hingga bencana maha dahsyat Tsunami pun dialami oleh rakyat Aceh yang sudah lelah dengan apa yang terjadi sebelumnya. Nanggroe Aceh Darussalam adalah nama yang diberikan oleh mantan Presiden Gusdur pada masa pemerintahan Gubernur Abdullah Puteh yang sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan kini dimasa pemerintahan Gubernur Irwandi telah berganti nama menjadi Provinsi Aceh, namun ini masih kontroversi.

Nama Aceh semakin terkenal ketika pada tanggal 26 Desember 2004 silam terjadi bencana maha dahsyat gelombang Tsunami yang melanda hampir seluruh daerah pesisir Aceh. Semua mata dunia tertuju pada Aceh yang saat itu diporak poranda oleh bencana maha dashyat itu, ratusan ribu lebih penduduk Aceh meregang nyawa dan hilang akibat bencana maha dahsyat bernama Tsunami. Semua negara memberikan bantuan yang tak sedikit dan mereka bertahan cukup lama di Aceh, sehingga muncul berbagai dugaan “ Apa yang mereka cari di Aceh ?” dan pertanyaan demi pertanyaan berkembang hingga dugaan pemurtadan pun keluar dari mulut ke mulut.

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, Aceh juga tidak mau kalah dengan daerah yang lain seperti dalam hal pendidikan. Ini terbukti dengan banyaknya pelajar – pelajar dari berbagai tingkatan sekolah negeri maupun swasta Aceh yang mengharumkan nama Aceh di kancah Nasional bahkan Internasional. Sekolah – sekolah modern menjamur di seluruh Aceh dengan andalan fasilitas dan kurikulum berstandar Internasional, jadi tak perlu heran ketika kita mendengar remaja Aceh berbicara bahasa asing dengan fasih.

Pendidikan saat ini sangat bertolak belakang dengan keadaaan pada tahun 1949 – 1960 dimana saat itu pendidikan Aceh sangat memprihatinkan. Saat itu di tiap kabupaten hanya tersedia jenjang pendidikan SD yang dulu bernama SR ( Sekolah Rakyat ) dan MIN. Apabila mereka ingin melanjutkan ke tingkat selanjutnya yaitu SMP ( Sekolah Menengah Pertama ) maka mereka harus melanjutkan ke Banda Aceh karena di tingkat kabupaten tidak ada SMP apalagi SMA ( Sekolah Menengah Atas ). Keadaan ini juga diperparah ketika Aceh pada saat itu masih tunduk dibawah Sumatera Utara dalam artian masih tergabung dalam satu provinsi.

Keadaan ini mengakibatkan timbulnya pemberontakan D.I T.I.I ( Darul Islam Tentara Islam Indonesia ) untuk melawan pemerintahan pusat yang menuntut agar Aceh berdiri sendiri, lepas dari Medan dan menuntut NBANII ( Negara Bagian Aceh Negara Islam Indonesia ) yang dipelopori oleh Daud Bereueh cs. Pemberontakan itu bukanlah tanpa alasan, karena Aceh saat itu diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat termasuk dalam hal pendidikan yang masih tertinggal serta pembagian hasil bumi yang persentasenya jauh dari kewajaran .

Akhirnya pemberontakan itu mendapat perhatian dari pusat, pada tahun sekitar 1958/1959, pusat mulai menyelidiki apa yang menjadi sebab mereka melakukan pemberontakkan itu, dan hasilnya terjadilah musyawarah yang bernama “Ikrar di Lamteh” yang dipelopori oleh Kolonel Yasin yang menjemput langsung Daud Bereueh cs dari gunung untuk turun dari gunung untuk turun dari gunung dan menghentikan pemberontakan.
Musyawarah itu menghasilkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Daerah Aceh disahkan sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang berdiri sendiri dan tidak tunduk lagi dibawah Sumut.

2. Berlakunya Syariat Islam di Aceh, termasuk tidak diperbolehkannya masuk miras ( minuman keras ) ke Aceh yang berlaku hingga saat ini.

3. Diberikan pendidikan seluas-seluasnya di Aceh hingga keperguruan tinggi, yang sekaligus ikut mempelopori didirikannya Universitas Syiah Kuala dan IAIN – Araniry hingga saat ini.

4. Diberikannya kemakmuran bagi seluruh mesjid – mesjid di seluruh Aceh, dan tidak boleh mendirikan gereja di seluruh Aceh kecuali yang sudah ada.

Begitu panjang cerita tentang sejarah Aceh sepertinya tidak akan habis untuk diuraikan semuanya,disini saya akan mencoba memaparkan beberapa perubahan masyarakat Aceh dahulu dengan sekarang semoga jadi pembelajaran bagi kita dan juga tolak ukur bagi generasi muda sekarang yang sudah begitu jauh bergeser dari tatanan kehidupan masyarakat Aceh dahulu yang terkenal dengan kehidupan yang bercirikan islami, adat istiadat yang begitu kental dan kesopanan masyarakatnya.

Perbedaan itu terlihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat saat ini khususnya para remaja- remaja Aceh.

1. Pergaulan Remaja Aceh
Kehidupan remaja Aceh saat ini sudah banyak mengalami pergeseran dari ciri remaja Aceh yang sebenarnya, sehingga membuat Aceh seakan hilang jati diri. Betapa tidak, remaja Aceh kini terlalu menggagungkan yang namanya perkembangan zaman. Mereka lebih asyik dengan kehidupan yang glamour, hura-hura dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna. Sehingga sudah sulit melihat perbedaan remaja Aceh dengan remaja di daerah lain yang pergaulannya sudah tidak dapat dibayangkan lagi parahnya.

Contohnya saja remaja Aceh kini lebih suka berkeliaran dimalam hari dan tidur dari pagi hingga siang kalau tidak ada sekolah atau jadwal kuliah, mereka lebih sering berkumpul di tempat burger, warung kopi, café-café dan tempat-tempat yang mereka anggap tempat gaul yang mengakibatkan mereka lupa waktu lupa ibadah dan lupa semua. Ibarat kelelawar ( tidur disiang hari dan berkeliaran dari sore hingga malam hari ), keadaan yang seharusnya terjadi adalah lebih banyaknya generasi muda yang melakukan ibadah dimasjid, mengikuti pengajian, kajian dan meratep di mesjid ( seperti makna yang tersirat dalam lagu Rafly “ anak sekarang sudah tidak mau pergi berzikir ke mesjid dan lebih suka melakukan hal-hal yang tidak berguna.

Contoh lain adalah seperti kebut-kebutan liar dijalan yang kini rutin dilakukan di salah satu lokasi didaerah batoh dan lokasi-lokasi lain diseluruh Aceh, tidak sedikit dari mereka masih bau kencur alias masih usia sangat muda, selain itu juga generasi muda sekarang sangat jauh dari norma agama dan kesopanan yang dulunya sangat lekat pada masyarakat Aceh. Muda-mudi kini tidak merasa janggal atau malu ketika mengganggu wanita yang sedang lewat baik ketika sedang berjalan kaki maupun bersepeda motor dan itu tidak terkecuali dilakukan juga oleh wanita terhadap pria seolah yang mereka lakukan adalah hal yang wajar dan patut diterima dan dari segi pakaian yang mereka pakai tidak mencerminkan syariat islam dan mereka berpikir “ sang-sang lagee artis bak meupakaian” ( seolah-olah bagaikan artis ketika berpakaian ).

Kemudian dari segi penampilan dan tata karma, mereka lebih sibuk mengurusi penampilan sampai-sampai terkadang mereka lupa apa yang mereka pakai sebenarnya tidak pantas dan tidak mencirikan remaja islami yang tinggal di daerah berjuluk Serambi Mekkah. Belum lagi karena remaja sekarang senang menonton reality show cinta, gossip, acara-acara musik baik di Televisi maupun langsung yang berpengaruh terhadap gaya hidup, cara berpacaran yang sangat bebas. Begitu miris rasanya melihat mental remaja Aceh kini, namun hal itu tidak terlepas dari control orang tua yang kurang dan tidak tegas.

Para orang tua seolah membiarkan saja anaknya keluar rumah baik laki-laki dan perempuan tanpa tegur sapa “ mau pergi kemana?, pergi dengan siapa?, ada keperluan apa?, kapan pulang?” ibarat pepatah Aceh “ Ie kah jeb naleung kah rot kah jak peusitot peu yang hawa” ( mau minum silahkan, mau makan rumput silahkan, kamu lakukan saja apa yang kamu suka ), seolah membuka ruang kebebasan antara orang tua dan anak, ini berbeda dengan dulu dimana orang tua juga memberikan kebebasan tehadap anaknya namun masih ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Ini lah terkadang yang salah dalam cara mendidik anak oleh orang tua sekarang walaupun tidak semua seperti itu. Sehingga tidak heran, banyak terjadi anak laki-laki membawa lari anak gadis atau istri orang, bayaknya orang yang melakukan mesum dimana-mana dan lebih parah lagi hingga menyeret ke dunia narkoba.

2. Kesopanan/ tata krama remaja Aceh dulu dengan sekarang
Kesopanan generasi muda sekarang jauh berbeda dengan dulu, tidak heran orang tua sekarang banyak yang mengeluh karena anak-anak mereka tidak sopan. Dulu remaja Aceh sangat hormat terhadap orang yang lebih tua dan lebih beretika. Padahal kalau dikaji, anak sekarang lebih berpendidikan dibanding dulu, akan tetapi kelakuan anak sekarang tidak mencerminkan seorang yang berpendidikan.

Sebagai contoh : dulu kalau ada anak muda yang naik sepeda atau sepeda motor ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua yang berjalan kaki, maka anak muda itu akan turun dari sepeda motornya dan mermberi salam terhadap orang yang lebih tua dengan menundukkan kepala, terlebih kalau tengku, tokoh masyarakat dan sebagainya. Ini jauh berbeda dengan anak muda sekarang, bahkan kalau berpapasan mereka malah menggeber-geber kereta dan terkadang menyebeng siapa yang lewat. Kebiasaan buruk ini terbawa-bawa hingga kejalan raya yang berakibat kecelakaan lalu lintas. Hal ini juga Karena orang tua terlalu cepat memberikan izin kepada anaknya untuk mengendarai sepeda motor, tidak jarang kita menemui dijalan anak-anak berusia 11 tahun keatas sudah balap-balapan di jalan.

Inilah bukti dari ketidak patuhan anak terhadap orang tuanya sendiri, karena dulu itu orang tua sangat kuatir ketika anaknya melakukan kesalahan/ perbuatan yang melenceng, karena nama baik keluarga ikut terbawa.
Yang jadi pertanyaan adalah “ Apakah itu karena budaya yang masuk dan berkembang dari luar Aceh ataukah itu memang budaya Aceh?”. Ntah lah, perlu kesadaran bersama dan kejujuran untuk bisa menjawab hal itu. Sepertinya akhlak, sifat, sikap, norma-norma sudah sulit ditemukan pada remaja Aceh sekarang, walaupun tidak semua remaja seperti itu.

3. Kontrol orang tua yang kurang terhadap anak
Kontrol orang tua terhadap anak menjadikan anak semakin tidak dapat diarahkan ke hal yang baik. Sebagai contoh : orang tua dulu, ketika anaknya membawa pulang kelapa muda maka orang tua menanyakan kepada sang anak dari mana dia mendapatkan itu, ketika orang tuanya tahu kalau kelapa itu diambil dari kebun orang yang jatuh maka kelapa itu disuruh kembalikan kepada yang punya kebun. Itulah bukti dari kontrol orang tua yang mengarahkan anak-anaknya kepada hal yang baik. Sekarang, orang tua kurang perduli terhadap apa yang dilakukan oleh anaknya, misalnya ada anaknya yang membawa barang dari pulang kerumah maka terkadang orang tuanya tidak menanyakan dari mana sang anak memperoleh barang itu, Karena terkandang orang tuanya bangga.

4. Kehidupan bersosial sudah terkikis
Kehidupan bersosial masyarakat Aceh sangat harmonis, mereka saling perduli terhadap sesame apalagi terhadap orang yang miskin. Sebagai contoh : kehidupan bertetangga sangatlah baik, masih adanya kepedulian terhadap sesame tetangga, ketika dia mengetahui tetangganya sedang susah seperti tidak ada beras, maka tetangganya yang lain akan tetap membantu seadanya. Kemudian kalau dia memasak pulut durian, durian itu wangi baunya sehingga tetangganya mencium bau durian itu maka dia akan membagikannya kepada tetangganya walapun tidak dibagikan kepada semua tetangga paling tidak tetangga terdekatnya.
Saat ini sudah sulit ditemukan hal-hal yang seperti itu. Kahidupan sekarang lebih apatis dan sulit rasanya untuk berbagi dengan orang lain.

5. Kemajuan dibidang Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri kemajuan ekonomi dan teknologi turut merubah tatanan masyarakat yang dulu sangat terjaga. Ketika masyarakat Aceh sudah mudah dalam mencari uang mereka menjadi semakin merasa saya adalah orang yang lebih… lebih… dan lebih ini… itu sedangkan orang lain tidak ada apa-apanya. Menjadikan mereka sosok yang angkuh tak terbendung. Kondisi ini berbeda dengan kondisi ekonomi masyarkat Aceh dimasa-masa sulit, Karena dulu walaupun orang mau bekerja, tetapi sedikitnya lowongan kerja membuat orang tidak tahu mau mengerjakan apa. Berbeda denga sekarang, orang sudah lebih mudah dalam mencari uang seiring lowongan pekerjaan yang menjamur di media masa dan peluang bisnis yang berkembang. Sehingga menimbulkan kurangnya kepedulian terhadap sesama, dan ketika tertimpa sebuah masalah seperti tabrakan sepeda motor, maka mereka sangat tidak sabar ketika menerima kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dan rasanya mau main hajar saja, seolah kendaraannya tidak boleh lecet sedikitpun, sehingga sulit untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara baik-baik.

6. Meningkatnya kriminalitas di Aceh
Aceh sekarang juga bagaikan kota texas, di beberapa daerah Aceh koboi-koboi beraksi dipenjuru kota, seperti yang pernah dikabarkan di media masa lokal. Tak heran, banyaknya terjadi tindak kekerasan dimana-mana. Keadaan saat ini sangat berbeda dengan keadaabn dulu yang terbilang masih cukup jauh dari tindak kekerasan kriminal seperti perampokan bersenjata, perampasan, pencurian, pembunuhan bermotif materi, penculikan bermotif tebusan.

Ya… seperti itulah gambaran raut Aceh sekarang, yang jauh berbeda dengan dulu. Saat ini Aceh memang menerapkan syariat islam, namun dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa Aceh sebenarnya hanya secara fisiknya saja syariat islam, tapi secara moralitas, normalitas, dan sebagainya Aceh tidak lah terlihat seperti daerah yang menerapkan syariat islam. Untuk itu, perlunya kesadaran dan hati yang lapang untuk dapat mengintropeksi diri apakah Aceh itu masih pantas memiliki julukan Serambi Mekkah ? atau syariat islam yang diterapkan saat ini hanya formalitas semata karena kita dijuluki Serambi Mekkah.
Banyak sekali orang Aceh yang selalu merefleksikan Aceh itu dulunya pada masa zaman pemerintahan Iskandar Muda sangat jaya, maju, berbudi, bertata karma dan semua hal-hal yang baik dan mulia.

Sebenarnya saat ini kita bisa saja membangkitkan kembali kejayaan itu dalam hal :
1. Memajukan Sistem Pendidikan
Dengan meningkatkan mutu pendidikan yang lebih maju, modern, berkembang namun tetap islami, bermoral dan tidak menghilangkan nilai-nilai keluhuran yang dimiliki.

2. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Aceh
Meningkatkan kesadaran dengan memungsikan kembali sendi-sendi agama, adat istiadat yang kuat yang terkandung dalam masyarakat Aceh. Sehingga marwah bangsa ini akan kembali seperti yang diharapkan .

3. Penegakkan Syariat Islam yang Kaffah
Dengan menerapakan syariat islam yang kaffah, maka semua tujuan dari penegakkan syariat islam itu juga akan tercapai. Hal ini juga memerlukan mental pejabat-pejabat kita yang selama ini kurang dan rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan, walaupun tidak semuanya seperti itu.

Kesimpulan : Aceh berbeda dulu dengan sekarang
Pada dasarnya kita telah menyadari bahwa banyak nilai-nilai yang sudah bergeser. Tetapi kita tidak mau tahu dan tidak peernah berpikir bagaimana untuk bisa mengembalikan nilai-nilai yang sudah bergeser tadi ketempatnya semula

Sarannnya :
1. Orang tua sebaiknya menanamkan nilai-nilai keagamaan sejak dini, karena sebenarnya pergaulan yang salah, tidak 100% berasal dari anak, tetapi pembenahan karakter maupun sikap dari orang tua itu yang memerlukan perubahan.

2. Kepedulian orang tua berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sehingga orang tua harus lebih berperan aktif dan tidak boleh terlalu lemah terhadap anak.
3. Nilai- nilai yang bergeser, mereka dapatkan dari pembelajaran orang tua dirumah. Dalam hal ini, orang tua dituntut aktif dalam menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak dalam artian dapat menjadi contoh yang baik kepada anak, bukan menjadi contoh yang buruk


Sekian…….
Semoga dapat diterima dan menjadi pembelajaran bagi kita semua kedepannya….
WASSALAM…..